Faktor Budaya Politik Masyarakat Desa
Terbentuknya
budaya politik suatu masyarakat melibatkan pengaruh yang beragam. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tersebut memiliki tingkat pengaruh yang satu sama lain
berbeda sesuai dengan sikap, karakter dan pola sikap yang melatarbelakangi
masyarakatnya. Faktor-faktor yang dimaksud dapat digolongkan dalam dua kelompok
besar, yakni faktor internal masyarakat desa dan faktor eksternal.
Faktor internal maksudnya adalah orientasi budaya politik masyarakat desa
dipengaruhi oleh faktor yang datang dari masyarakat desa itu sendiri, meliputi
dua hal utama, yakni faktor ekonomi dan faktor pendidikan. Faktor eksternal
maksudnya adalah bahwa orientasi budaya politik masyarakat desa dipengaruhi
oleh sesuatu hal yang datang dari luar masyarakat itu sendiri, meliputi faktor
media massa dan faktor interaksi dengan para elit politik dan aparat pemerintah.
Dua jenis faktor internal yang mempengaruhi budaya politik masyarakat
adalah faktor ekonomi dan pendidikan. Pertama, keadaan ekonomi masyarakat desa
secara umum masih jauh di bawah standar yang diharapkan karena masyarakat desa
hanya memiliki akses pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari hasil pertanian,
perikanan, kerajinan dan lain-lain sejenisnya. Memang tak dapat dipungkiri
bahwa meskipun akses sumber ekonomi masyarakat desa hanya berkutat pada
pertanian, perikanan, kerajinan dan sejenisnya, masyarakat desa telah mampu
meningkatkan pendapatannya dikarenakan adanya keterlibatan berbagai pihak dalam
hal pemberdayaan seperti keterlibatan pemerintah dan swasta untuk meningkatkan
hasil pertanian, penangkapan ikan bagi nelayan, pengembangan kerajinan dan lain-lain.
Dari sekian banyak keterlibatan pihak luar tersebut, tak banyak yang
berhasil dan jumlahnya pun masih belum sebanding dengan jumlah masyarakat desa
yang membutuhkannya. Kesulitan dan kegagalan tersebut selain dikarenakan
keterbatasan kapasitas dan kemampuan secara sumber daya dan ekonomi, kurangnya
kepedulian, juga dikarenakan ketidaktepatan metode yang diterapkan sesuai
dengan karakter lingkungan fisik dan keadaan sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat desa.
Bagaimana pun, tingkat kesejahteraan suatu masyarakat selalu melibatkan
faktor ekonomi. Makin tinggi tingkat ekonomi masyarakat, makin tinggi pula
tingkat kesejahteraannya, dan makin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat
maka semakin tinggi tingkat aktifitas yang dilakukannya sehari-hari. Tingginya
tingkat aktifitas yang dijalankan masyarakat membawa pengaruh langsung pada
kemampuannya mengembangkan berbagai potensi diri. Potensi diri individu yang
dikembangkan dalam berbagai bentuk mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam
menghadapi berbagai hal. Hal inilah yang akan membentuk orientasi politik
(budaya politik).
Faktor internal yang kedua adalah faktor pendidikan. Pendidikan adalah
suatu proses mencari, memahami dan kemudian melakukan dalam bentuk tindakan
nyata dari suatu hal yang menjadi
suatu pengetahuan. Oleh karena merupakan
suatu proses mencari, memahami dan melakukan, maka diperlukan keterlibatan
aktif secara individu maupun kelompok. Akan tetapi, dalam proses tersebut perlu
adanya sarana dan prasarana yang mendukung, termasuk di dalamnya adalah
keterlibatan pihak lain yang dapat dijadikan sumber ilmu dan pengetahuan.
Pihak lain yang dimaksud dapat berupa orang perorang secara individu maupun
kelompok, instansi-instansi atau organisasi-organisasi sosial dan pemerintahan.
Terkait dengan budaya politik, pendidikan setidaknya dapat melibatkan dua
pihak, yakni swasta dan pemerintah. Pihak swasta yang dimaksud adalah
organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan (LSM) sedangkan pihak pemerintah
adalah negara itu sendiri, yang dijalankan melalui tahap-tahap dan arah yang
jelas.
Hasil penelitian Almond dan Verba[1] terhadap budaya politik lima negara mengemukakan tiga
jenis perbedaan antara orientasi politik masyarakat yang berpendidikan tinggi
dan masyarakat yang berpendidikan rendah. Pertama, terdapat sejumlah
orientasi politik yang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang lebih
tinggi dan mempengaruhi di kelima negara. Kedua, terdapat sejumlah
tingkah laku politik yang secara relatif berubah sedikit dari satu tingkat
pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya. Ketiga, ada beberapa
orientasi politik di atas mana derajad pendidikan mempunyai pengaruh yang
berbeda di tiap-tiap negara.
Pada sejumlah negara, orang-orang berpendidikan tinggi mempunyai frekuensi
orientasi khusus yang lebih tinggi; dalam negara lain, orang yang berpendidikan
rendah cenderung memiliki frekuensi orientasi yang sama dalam ukuran lebih
tinggi. Atau dalam satu negara antar kelompok pendidikan terdapat perbedaan
frekuensi orientasi khusus sementara dalam negara yang lain perbedaan semacam
itu tidak ada.
Berdasarkan hasil penelitian Almond dan Verba tersebut, maka jelaslah bahwa
pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan bagi orientasi politik masyarakat.
Untuk itu, orientasi politik yang lebih tinggi melalui pendidikan mengarah
kepada beberapa hal sebagaimana diungkapkan Barid Hardiyanto[2]. Pertama, pendidikan untuk mempertanyakan struktur ketidakadilan.
Implementasi tujuan tersebut dalam kerangka menaruh kembali substansi sejajar
manusia di mata Tuhan. Kedua, mengarahkan pendidikan untuk mampu menggerakkan subjek
pendidikan untuk melakukan perubahan. Ketiga, mengetahui tindakan apa saja yang akan dilakukan untuk
mendapatkan hak-hak masyarakat. Keempat, mengatasi problem-problem yang ada untuk mendapatkan hak
tersebut. Kelima, melihat kontekstualisasi situasi politik yang sedang
berlangsung dan hubungannya dengan perjuangan-perjuangan perlawanan. Keenam, mengetahui dan memahami jalannya proses pendidikan.
Melalui tujuan pendidikan yang demikian, kekhawatiran pemerintah akan masih
jauh tertinggalnya sebagian besar masyarakat dalam hak dan kewajiban politiknya
setidaknya dapat diminimalisir. Pendidikan tersebut perlu diarahkan kepada
suatu budaya politik partisipan yang tentu saja perlu ditopang dengan tingkat
kematangan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang memadai. Sebagian besar
masyarakat luar Jawa dan Madura mengalami ketertinggalan yang sangat signifikan
terutama masyarakat Indonesia bagian timur.
Dengan demikian, tingkat partisipasi masyarakat akan meningkat seiring
dengan tingginya kualitas dan kuantitas pendidikan, yang kemudian melahirkan
kematangan masyarakat dalam hak dan kewajiban politiknya.
Selain kedua faktor internal tersebut di atas, faktor eksternal juga
memiliki andil yang kuat dalam proses pembentukan dan mempengaruhi budaya
politik masyarakat. Media massa merupakan media yang paling tepat dan dapat
diterima secara umum oleh sebagian besar masyarakat. Media massa yang dimaksud
adalah baik media cetak (koran, majalah, tabloid dan lain-lain) maupun media
elektronik (televisi, radio, komputer/internet dan lain-lain).
Diharapkan pada kenyataan kondisi lingkungan fisik dan lingkungan ekonomi,
sosial, budaya masyarakat yang tidak memadai, media-media tersebut belum
sepenuhnya menyentuh keseharian masyarakat pedesaan. Bahkan pada masyarakat
desa terpelosok dan terpinggir, hampir tidak pernah mengenal dan berhadapan
dengan media-media yang dimaksud. Akibatnya, media-media tersebut hanya menjadi
konsumsi keseharian masyarakat perkotaan yang dengan segala kelebihannya telah
mampu merubah pola pikir dan orientasi sikap dan tindakannya.
Masyarakat desa yang karena berbagai keterbatasan tersebut tidak mengalami
perubahan apa-apa terhadap berbagai sikap dan tindakannya yang memungkinkan
masyarakat pedesaan tetap berada pada tingkat keterbelakangan dan kemerosotan,
terutama keterbelakangan dan kemerosotan budaya politik. Kenyataan ini tentu
saja menjadi suatu kendala terbesar yang selalu dihadapi oleh pemrintah untuk
menciptakan format ideologi dan sistem politik yang ideal guna memaksimalkan
peran serta masyarakat terhadap berbagai sistem politik yang dijalankan.
Berbagai keterbelakangan tersebut setidaknya dapat diminimalkan jika
pemerintah memiliki kepedualian yang serius terhadap nasib masyarakat desa.
Terlebih di era kebebasan media massa dan ditunjang sistem demokrasi otonomi
daerah yang sedang bergulir, semestinya kepedualian terhadap nasib masyarakat
desa dapat diawali dan terus dikembangkan.
Bergulirnya era otonomi daerah sepantasnya menjadi kemenangan besar bagi
masyarakat desa karena secara langsung masyarakat desa menentukan siapa yang
layak memimpin di tingkat lokal, yang tentu saja memahami situasi dan kondisi
masyarakat desa lebih dekat. Selain itu, keberadaan media massa lokal yang
menjamur tidak membawa pengaruh yang berarti bagi masyarakat desa. Padahal,
James W. Carey[3] mengungkapkan bahwa melalui komunikasi media massa, setiap individu
memiliki peluang untuk menerima pesan yang berupa nilai-nilai, orientasi atau
hal lain yang serupa, yang memungkinkan efek dari interaksi tersebut bertemu
satu dan lainnya membentuk pola-pola khusus yang mendukung terciptanya
integrasi sosial.
Jika peluang menerima pesan berupa nilai-nilai, orientasi dan lain-lainya
tersebut sama bagi semua masyarakat, mengapa peluang tersebut tidak mampu
menyentuh masyarakat desa karena sebenarnya desa merupakan sumber kehidupan
bagi semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat perkotaan. Artinya,
kemakmuran dan kemajuan dalam berbagai segi yang dialami masyarakat desa
membawa pengaruh yang besar bagi kemakmuran dan kemajuan masyarakat perkotaan
karena sebagian besar sumber kebutuhan pokok masyarakat perkotaan berasal dari
desa.
Efek ini memang tidak berlaku sebaliknya. Ketika masyarakat perkotaan
menikmati fasilitas-fasilitas mewah dan taraf kehidupan yang mapan, masyarakat
desa tidak mengalami perubahan apapun, apalagi kemakmuran dan kemajuan sebagai
imbas dari kehidupan masyarakat kota.
Pada dasarnya, terdapat keuntungan ganda yang dapat diperoleh dari media
massa. Charles R. Wright[4] membagi fungsi media menjadi empat bagian.
Pertama, sebagai fungsi pengawasan. Pengawasan yang dimaksud
adalah media massa memberikan peringatan mengenai ancaman dan bahaya yang
mengancam kesejahteraan dan keselamatan kehidupan manusia di dunia.
Kedua, fungsi interpretasi dan preskripsi dengan mencegah konsekuensi–konsekuensi
yang tidak diharapkan dengan cara membangun komunikasi berita yang telah
dikemukakan.
Ketiga, fungsi transmisi budaya dan sosialisasi. Media massa
dapat mewariskan nilai-nilai atau norma-norma suatu masyarakat.
Keempat, fungsi penghibur. Fungsi penghibur media massa adalah
dengan mengoptimalkan peran sebagai sarana untuk melepaskan diri dari perasaan
tertekan, yang menimbulkan perasaan-perasaan tertentu seperti keceriaan dan
percaya diri yang tinggi.
Selain beberapa manfaat yang dikemukakan oleh Wright tersebut di atas,
Almond mengemukakan manfaat lain. Menurut Almond[5], media massa (surat kabar, radio, televisi, majalah dan lain-lain)
memegang peranan penting untuk menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern
kepada bangsa-bangsa merdeka. Selain sebagai penyampai informasi tentang
peristiwa politik, media massa juga menyampaikan secara langsung atau tidak
nilai-nilai utama yang dianut oleh masyarakatnya. Karena itu, media massa yang
terkendali merupakan sarana kuat dalam membentuk keyakinan-keyakinan politik.
Faktor eksternal kedua yang mempengaruhi serta membentuk budaya politik
masyarakat adalah interaksi para elit politik dan pemerintahan dengan
masyarakat desa. Tampaknya, faktor terakhir ini memiliki kelebihan tersendiri
dibanding ketiga faktor lain yang telah dikemukakan di atas. Hal ini dapat
dipahami karena masyarakat desa mampu memberikan reaksi tersendiri secara
langsung jika berhadapan dan bertatap muka secara langsung tanpa perantara.
Sikap demikian dilatarbelakangi oleh masih kentalnya kerjasama dan
kepedulian yang tinggi antar sesama yang memungkinkan terjalinnya interaksi
secara personal dengan para elit politik dan aparat pemerintah. Interaksi
secara langsung melalui tatap muka sering diterapkan dalam kehidupan masyarakat
desa, misalnya dalam bentuk diskusi menjaring pandangan serta menyampaikan
berbagai informasi pembangunan desa. Interaksi secara langsung semacam ini
sangat efektif dalam menyampaikan pesan-pesan politik dan pembangunan kepada
masyarakat, karena biasanya masyarakat desa akan menunjukkan secara langsung
reaksi tertentu terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah dan para elit
politik.
Dalam menyampaikan pesan politik kepada masyarakat, para elit politik dan
aparat pemerintahan perlu melibatkan peran serta para tokoh masyarakat, karena
para tokoh masyarakat inilah yang secara umum diterima di tengah-tengah
masyarakat desa dan terlibat langsung dalam berbagai kegiatan dan agenda yang
berlangsung dalam masyarakat desa.
Soemarno[6] menuliskan bahwa mekanisme komunikasi politik dalam masyarakat desa tidak
dapat dipisahkan dari peran para birokrat (aparat desa) dan tokoh-tokoh
masyarakat. Keduanya merupakan aktor-aktor penting sebagai komunikator politik,
memainkan peran tertentu dan mampu menggerakkan proses komunikasi politik
masyarakat desa. Aktor-aktor ini dianggap sebagai pendobrak terjalinnya
komunikasi politik di masyarakat.
Menurut Doob, terdapat tiga kategori aktor-aktor politik tersebut, yakni
politikus (politician), komunikator profesional (professional
communicators), dan aktivis komunikator politik (activist of political
communicators). Aktor-aktor tersebut perlu terlibat aktif dalam kesatuan
kerjasama yang kompak untuk menyampaikan pesan-pesan dan pendidikan politik
kepada masyarakat desa.
Zainudin, M.Si.
0 Response to "Faktor Budaya Politik Masyarakat Desa "
Posting Komentar