Kejarlah Cita-Citamu Ketika Itu Mustahil Bagi Orang Lain
Di sekolah kehidupan kita sering menemukan begitu banyak orang yang
terjebak oleh trauma kegagalan di masa silam. Kegagalan yang pernah
dialaminya dianggap sebagai sesuatu yang mutlak dan pasti terulang,
sehingga membuat dirinya kapok untuk mencoba lagi. Bahkan bukan cuma
itu.
Perasaan “takut gagal lagi” itu kemudian secara sistematik ditularkan
kepada sejumlah orang, entah itu rekan kerja atau bahkan anak-anak
mereka sendiri. Dan ketika rasa “takut gagal” menjadi momok dalam sebuah
lingkungan, maka sejumlah cita-cita besar kita dapati layu sebelum
berkembang.
Ilustrasi yang menarik mengenai soal tersebut diatas dapat dipetik dari
cerita yang beredar di internet, yang entah darimana asal-usulnya.
Berikut petikannya:
Konon, ada seorang profesor di Amerika yang meneliti dua ekor monyet.
Keduanya, sebut saja Ankey dan Benkey, dimasukkan ke dalam sebuah ruang
kosong bersama-sama. Di dalam ruang terdapat sebuah tiang yang di
atasnya terdapat sejumlah pisang yang sudah matang.
Setelah cukup menyamankan diri dengan lingkungan dalam ruang tersebut,
Ankey dan Benkey kemudian
mulai mencoba memanjat tiang untuk mendapatkan
pisang yang menggiurkan itu. Mula-mula Ankey yang naik. Ketika berada
di tengah, sang profesor menyemprotkan air ke arahnya, sehingga Ankey
terpeleset dan jatuh. Penasaran, Ankey mencoba lagi, disemprot lagi, dan
jatuh lagi. Begitu berulang kali, sampai Ankey menjadi kapok. Lalu
Benkey mencoba. Ia mengalami hal yang sama berulang kali dan akhirnya
ikut kapok.
Tak lama berselang, dimasukkanlah monyet ketiga, sebut saja Cenkey. Sang
profesor sudah menetapkan untuk tidak lagi menyemprotkan air jika ada
monyet yang memanjat tiang. Siapa pun yang memanjat pasti akan
mendapatkan pisang yang ada. Anehnya, begitu Cenkey mulai menyentuh
tiang untuk memanjat, ia langsung ditarik oleh Ankey dan Benkey. Mereka
agaknya berusaha mencegah agar Cenkey tidak mengalami nasib serupa
dengan mereka. Karena terus menerus dicegah oleh Ankey dan Benkey, maka
akhirnya Cenkey terpengaruh dan tak lagi berusaha memanjat.
Selanjutnya, sang profesor mengeluarkan Ankey dan Benkey, dan memasukkan
dua monyet baru Denkey dan Enkey. Seperti mudah ditebak, Denkey dan
Enkey mencoba memanjat tiang untuk mendapatkan pisang. Namun Cenkey
berusaha mati-matian untuk mencegah dan menahan dua kawannya itu. Ia
seperti berusaha memberitahu kalau “ada sesuatu” dengan tiang dan pisang
tersebut yang membahayakan siapa saja yang memanjat.
Usaha Cenkey berhasil mempengaruhi Denkey, tetapi Enkey agaknya punya
pendiriannya sendiri. Enkey akhirnya memanjat dan menikmati pisang yang
diperolehnya karena memang sang profesor tidak menyemprotkan air lagi.
Sang profesor dalam kisah di atas boleh ditafsirkan “mewakili” Tuhan,
yang memudahkan seseorang dalam hal tertentu [memberi berkah] dan
menyulitkan orang yang sama dalam hal yang lain [mengijinkan musibah].
Ia memainkan peran sebagai “faktor x” yang tak bisa direncanakan dan tak
bisa diduga perilakunya. Sementara pisang merupakan wujud dari
sasaran-sasaran atau cita-cita yang ingin dicapai oleh orang-orang
tertentu, entah itu kekayaan, jabatan kekuasaan, kesehatan, keturunan,
kecantikan, usia lanjut, atau apapun yang mungkin diinginkan manusia.
Ankey dan Benkey mewakili sosok orang kebanyakan. Awalnya mereka
memiliki sejumlah cita-cita besar. Namun setelah beberapa kali gagal
memperjuangkan cita-citanya, mereka akhirnya memutuskan untuk menyerah
pada keadaan [nasib?]. Mereka menjadi trauma. Mereka takut gagal lagi.
Dan pengalaman gagal kemudian menjadi semacam mantra yang siap
ditularkan kepada siapa saja yang bersinggungan dengan mereka.
Cenkey, monyet ketiga, mewakili sosok orang-orang yang mudah percaya
pada mitos-mitos negatif para pendahulunya. Jika mereka menginginkan
sesuatu, mereka akan sangat bergantung pada pandangan lingkungan
sekitarnya. Ketika lingkungan tak mendukung, kurang memberikan informasi
yang dibutuhkan, atau bahkan mencoba menghambat langkah maju, maka
mereka akan menyerah pada tuntutan lingkungan yang lebih tahu dan lebih
“berpengalaman”. Atas nama tradisi, bakat, keturunan, dan nasib,
kelompok manusia jenis Cenkey tidak perlu sampai mengalami sendiri
proses kegagalan yang dramatis. Mereka mudah diyakinkan bahwa mereka tak
berbakat dan pasti gagal, bahkan sebelum mencoba melakukan sesuatu sama
sekali.
Denkey memiliki karakteristik yang tak banyak berbeda dengan Cenkey.
Tetapi Enkey mewakili jenis manusia yang lain. Jenis manusia yang tak
mudah dipengaruhi dan ingin memperjuangkan cita-citanya dengan
sungguh-sungguh. Ia tidak percaya pada faktor nasib, keturunan, atau
bahkan bakat. Baginya, semua yang dicita-citakan harus diusahakan. Kalau
perlu berbeda pandangan dengan orang lain, tak jadi soal. Kalau orang
lain pernah gagal, tak berarti ia juga pasti gagal. Kalau orang lain
menganggapnya tak bisa, itu bukan berarti ia otomatis menjadi tak bisa.
Yang penting segala sesuatu harus dicoba. Dan sesuatu yang dianggap
penting harus diperjuangkan sampai dapat, apapun hambatannya.
Kita juga dapat mengatakan bahwa Ankey dan Benkey adalah jenis orang
yang terpenjara oleh masa lalu. Mereka bahkan memandang masa depan
melalui masa lalu. “Jika kemarin aku gagal, maka besok pun aku pasti
gagal,” demikian pola pikir mereka. Bahkan lebih parah lagi, entah
secara sadar ataupun tidak, mereka menganggap, “Jika tahun lalu aku
gagal, maka kalau si Cenkey mencoba besok, ia juga pasti gagal. Aku
harus mencegahnya agar ia tidak gagal seperti diriku”. Dengan demikian,
bagi Ankey dan Benkey, mencegah orang dari usaha mereka untuk meraih
cita-cita besar adalah sesuatu yang “baik” dan “mulia”. Ankey dan Benkey
akan mencoba mengajarkan orang-orang di lingkungan terdekatnya untuk
“realistis” dalam menginginkan sesuatu. Mereka pandai dalam memberikan
argumentasi tentang mengapa suatu hal itu menjadi “tidak mungkin”.
Namun, mereka tidak pandai dalam soal menjelaskan bagaimana mengubah
sesuatu yang “tidak mungkin” menjadi “mungkin”. Dengan lain perkataan,
orang-orang tipe Ankey dan Benkey mudah menyebarkan virus pesimisme.
Mereka adalah kaum pesimis berdasarkan pengalaman.
Cenkey dan Denkey bahkan lebih parah lagi. Mereka cenderung memilih
tindakan yang “paling aman” setelah mempertimbangkan semua kritik dan
saran yang disampaikan orang lain [lingkungan]. Mereka tidak memiliki
cita-cita yang diinginkan dengan sungguh-sungguh, tetapi sekadar
mengikuti kemana suara mayoritas membawa mereka. Mereka memiliki rasa
minder potensial yang mudah berkembang ketika disiram oleh nasihat
orang-orang “berpengalaman” model Ankey dan Benkey. Pola pikirnya kurang
lebih, “Kalau orang seperti dia saja tidak bisa, apalagi aku”.
Singkatnya, inilah model orang pesimis berdasarkan pelajaran dan
pelatihan dari orang lain [bukan pengalaman langsung].
Enkey mewakili keberanian, kegigihan, sikap optimis dan pantang
menyerah. Inilah jenis manusia yang mempelopori perubahan, melakukan
terobosan, menghadirkan berbagai inovasi, dan membuat dunia nampak
warna-warni dan penuh dinamika.
Kita bisa juga memaknai kisah para monyet itu secara lain. Ankey dan
Benkey mewakili sisi tertentu dalam diri kita yang mudah menyerah. Sisi
itu sering berpesan “Kemarin kamu sudah gagal, buat apa mencoba lagi.
Nanti gagal lagi”. Cenkey dan Denkey mewakili sisi lain yang terpengaruh
oleh pengalaman gagal dalam bidang tertentu. Sisi ini sering berpesan,
“Kalau si Centil saja nggak tertarik sama kamu, apalagi dalam si Tamara”
atau “Kalau bergaul saja kamu sudah, bagaimana bisa berbisnis”.
Sementara Enkey mewakili sisi paling optimis dalam diri kita, yang
berpesan “Selalu ada cara bagi yang gigih berusaha” atau “Sesuatu yang
sulit itu tidak berarti mustahil”.
Nah, ketiga sisi tersebut bertarung tiap hari dalam diri kita, dalam
sistem berpikir kita, dan hanya salah satu sisi yang “menang” pada suatu
saat. Sisi yang paling sering kita menangkan—artinya ini soal pilihan,
bukan soal nasib—itulah yang kemudian membentuk kebiasaan kita, apakah
kita cenderung menjadi pesimis atau menjadi optimis dalam meraih
cita-cita hidup di masa depan.
Jadi, ketika ada orang yang mengatakan bahwa kita tidak mungkin mencapai
apa yang kita cita-citakan, jangan percaya. Sebab mereka mungkin adalah
kaum pesimis berdasarkan pengalaman [Ankey-Benkey], atau pesimis karena
dilatih [Cenkey-Denkey], sementara kita adalah kelompok optimis
[Enkey]. Kejar terus cita-cita, jangan pernah menyerah.
Penulis:
Andrias Harefa
Sumber:
http://www.phylopop.com/2014/03/kejarlah-cita-citamu-ketika-itu.html
0 Response to "Kejarlah Cita-Citamu Ketika Itu Mustahil Bagi Orang Lain "
Posting Komentar